Uneg-Uneg Gue Terhadap iPusnas dan Ruang Buku Kominfo
Buku
memang bukan barang yang murah. Satu buku aja bisa dibanderol dengan harga yang
bikin kaum dompet kering mau nangis. Satu buku harganya biasa ada di kisaran
Rp40.000 untuk buku tipis yang tebalnya hanya 100 halaman, dan lebih dari
Rp100.000 untuk buku yang lumayan tebal, biasanya sih 500-an halaman. Kalau
yang tebal banget—900-an halaman—harganya bisa sampai Rp200.000.
Tulisan ini gue buat pure untuk mengungkapkan kekesalan gue sebagai pengguna dari aplikasi-aplikasi tadi. Semoga, developer-nya bisa menemukan tulisan gue ini—meskipun mustahil—dan apa yang gue tulis di sini bisa dijadikan bahan untuk berbenah diri—eh, maksudnya berbenah aplikasi.
iPusnas
Sebenarnya, udah banyak orang yang protes terkait notifikasi iPusnas ini. Namun, tetap saja tidak ada tindakan apapun dari developer-nya untuk menanggapi keluhan para pengguna. Padahal, ini kan aplikasi milik pemerintah yang dibuat untuk memudahkan akses bacaan ke masyarakat. Seharusnya, persoalan kecil macam tadi sudah sejak lama diperbaiki. Namun, sejak perilisannya di tahun 2016, masalah ini tetap saja tidak diurus. Yah... sebenarnya salah juga sih berharap sama pemerintah. Kan tahu sendiri pemerintah kita kayak gimana... 🤡
Selain itu, masih ada segudang masalah lain di iPusnas yang entah mengapa sampai sekarang masih belum diperbaiki. Masalah-masalah itu antara lain: fitur search yang kurang bisa diandalkan, bookmark yang suka hilang sendiri, serta akun yang suka tiba-tiba ter-logout sendiri.
Gue tidak hanya berharap masalah-masalah tadi cepat diperbaiki, tetapi juga berharap satu fitur ini bisa ditambahkan. Fitur yang gue harapkan adalah kolom yang berisi biodata singkat penulis. Sejauh ini, hanya ada kolom yang berisi blurb buku saja di iPusnas. Developer-nya sepertinya lupa kalau identitas penulis buku juga sama krusialnya seperti blurb atau sinopsis buku, apalagi kalau buku yang mau dibaca itu buku non-fiksi. Kita perlu tahu siapa si pengarang dan apa riwayat pendidikannya, sehingga kita bisa mempertimbangkan, apakah kita bisa mempercayai ini buku ini atau tidak. Kan tidak mungkin kita mau membaca buku sejarah yang ditulis sama orang yang kuliah di jurusan teknik, atau buku tentang sains yang ditulis sama lulusan filsafat. Itu bukan hal yang sepele loh. Kan bahaya kalau kita mempelajari ilmu yang sesat. Makanya, gue berharap fitur yang satu ini bisa dengan segera ditambahkan.
Ruang Buku Kominfo
Kalau kalian mau baca buku berformat PDF di aplikasi ini, ya siap-siap saja untuk beristighfar di setiap menit. E-reader-nya memang sangat jelek kalau digunakan untuk membaca buku berformat PDF. Selain karena susah di-zoom, kalian juga harus repot-repot zoom out halamannya kalau mau pergi ke halaman selanjutnya. Tentunya ini benar-benar ngeselin ya.
Tidak hanya itu, proses pendaftaran ke RBK juga lamanya minta ampun. Gue udah daftar sejak November 2023, dan baru dapat akun di bulan Juni 2024. Itu berarti, gue udah nunggu sekitar delapan bulan, dikit lagi udah mau setahun. Setelah berhasil daftar pun, gue juga harus berusaha sabar karena RBK juga tidak jauh berbeda dari iPusnas, alias kalau mau baca buku harus mengantri! Parahnya lagi, di RBK jumlah stok bukunya lebih sedikit daripada di iPusnas. Kalau di iPusnas satu buku bisa punya ratusan salinan, di RBK jumlah salinannya masih bisa dihitung pakai jari! Udahlah proses pendaftarannya lama, pas mau baca buku pun harus nunggu lama lagi. Haduh...
iJakarta juga punya permasalahan yang sama dengan iPusnas karena memang sama-sama dikelola oleh Aksamaraya. Hanya saja, karena iJakarta lebih sepi, war bukunya tidak sesengit di iPusnas. Namun, koleksi buku di iJakarta lebih sedikit dan kurang up to date kalau dibandingkan dengan iPusnas.
Sedangkan perihal e-reader di RBK dan Gramedia Digital, kalian masih bisa mengakalinya dengan cara mengunduh aplikasi yang versi lama, yakni versi sebelum pertengahan tahun 2022. Justru di versi yang lama itu, e-reader-nya malah lebih bagus. Aneh kan ya?
Sejauh ini, gue merasa kalau aplikasi yang paling bagus untuk membaca buku itu ya Google Book. Selain karena UI/UX-nya bagus, fitur di Google Book pun lengkap banget dan jarang error. Cuma, kalau mau baca di Google Book, kita harus membeli e-book secara eceran, dan kadang harganya tidak beda jauh dengan buku fisiknya. Jadinya, sayang aja duitnya. Mending sekalian beli buku fisiknya aja, karena bisa dikoleksi.
Jadi, itulah uneg-uneg gue perihal dua aplikasi untuk baca buku gratis buatan pemerintah kita. Semoga saja, ada keajaiban yang membuat tulisan gue ini bisa ditemukan sama developer-nya dan berhasil untuk menggerakkan hati mereka untuk memperbaiki aplikasi yang mereka kelola. Minat dan kemampuan baca masyarakat kita masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan kita masih kalah dari Vietnam yang sama-sama negara berkembang. Aplikasi baca buku gratis ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan literasi masyarakat, terutama bagi mereka yang masih kesulitan mengakses bahan bacaan. Seharusnya, aplikasi-aplikasi tadi bisa dikembangkan dan dikelola dengan baik sehingga bisa membuat pengalaman membaca para penggunanya menjadi sangat menyenangkan, bukannya dibuat asal jadi dan ditelantarkan begitu saja yang akhirnya bikin orang yang make jadi kesel.
Komentar
Posting Komentar