"Anak Abah"
Mau cerita. Pagi tadi, aku tanpa sengaja mendengar sekelompok ibu-ibu sedang mengobrol di halaman rumahku. Karena lokasi mereka melangsungkan obrolan itu adalah rumahku, tentu saja ibuku turut serta di dalamnya. Aku tak tahu apa saja yang mereka obrolkan dari awal sampai akhir, sebab aku hanya mendengar satu bagian saja. Bagian yang tanpa sengaja aku dengar itu adalah perbincangan mengenai kenaikan PPN menjadi 12% di tahun 2025.
Belum juga kenaikan PPN itu benar-benar ditetapkan, tetapi harga barang-barang sudah naik saja. Sontak, kenaikan harga itu menerbitkan serangkaian kata-kata bernada keluhan di mulut ayah dan ibuku. Aku pikir, keputusan ngaco dari Si Gemoy ini akan menyadarkan ibuku, bahwa keputusannya untuk menjadi pendukung Si Gemoy dan keluarga Mulyono adalah sebuah keputusan yang buruk. Akan tetapi, sepertinya aku berharap terlalu banyak.
Aku tak tahu siapa yang memulai celetukan, “Eh, tahun depan PPN naik menjadi 12% kan?” Aku sudah lupa bagaimana persisnya perbincangan itu bermula. Namun, aku masih ingat, salah satu dari mereka yang tak lain ada tetanggaku menimpali, “Iya benar. Banyak juga orang-orang yang protes. Tapi, aku rasa protes itu berlebihan, ‘kan cuma naik 1%.”
Kemudian, ibuku menanggapi, “Orang-orang itu memang cuma melebih-lebihkan. Yang melebih-lebihkan itu ‘kan pendukung Anies. Kata mereka, ‘Nah, rasain kan kalian yang menjadi kaum 58%!’ Hah! Mereka itu cuma sakit hati karena Anies kalah!”
“Mereka kan memang Anak Abah!” celetuk tetanggaku itu yang kontan disetujui oleh yang lain. Lalu, mulailah serangkaian hinaan dan cercaan terhadap orang-orang yang mereka juluki sebagai ‘Anak Abah’ itu.
Aku mendengarkan percakapan itu sambil termenung. Terbitlah suatu keinginan di hatiku untuk keluar dari tempat persembunyianku dan membantah dengan keras opini mereka yang sungguh ngawur itu. Akan tetapi, aku memutuskan untuk tidak melakukannya. Di mata mereka, aku hanyalah anak ingusan yang tidak mengerti hal-ihwal mengenai politik. Tentu saja, suaraku tidak akan didengar. Mencoba untuk menimbrung dan menjadi satu-satunya orang yang menentang opini mereka rasanya serupa bunuh diri saja.
Ah, sungguh menyedihkan sekali pola pikir ibu-ibu ini. Mereka terlalu positive thinking terhadap pemerintah. Positive thinking yang salah sasaran dikombinasikan dengan kekeraskepalaan memang menghasilkan sebuah pola pikir yang sungguh sangat mengenaskan. Bagaimana bisa, orang yang mengkritik kebijakan pemerintah justru dianggap sakit hati karena capres yang didukungnya kalah? Bagaimana mungkin negara ini melabeli diri sebagai negara demokrasi jika mengkritik saja dianggap sebagai sebuah kehinaan? Tak usahlah kita melabeli diri sebagai orang-orang yang demokratis. Bagi kita, pemilihan umum adalah suatu meja judi. Yang dipertaruhkan di sini adalah harga diri. Capres yang kau dukung kalah? Siap-siap saja harga dirimu menjadi santapan lezat para serigala. Bagaimana jika ternyata si pemenang yang didukung oleh para serigala ini menjadi pemburu yang bersiap untuk menewaskan mereka? Mereka juga tak akan diam saja. Mereka akan mengaum untuk membela pemburu itu, demi harga diri yang tetap utuh, meskipun tubuh mereka suatu saat akan tercabik-cabik!
PPN di negara kita adalah yang paling tinggi di ASEAN, tetapi di saat yang sama, UMR kita adalah salah satu yang paling rendah! Jika ini adalah faktanya, mengapa masih banyak orang yang membela keputusan para asshole itu untuk menaikkan PPN? Ini tak lain adalah karena pemberitaan yang menipu.
UMR Indonesia Peringkat 5 Terendah di Asia Tenggara tapi PPN Tertinggi, Ini Solusi dari Pemerintah
“Lagian, yang dinaikkan ‘kan cuma barang-barang premium...” ucap salah satu dari ibu-ibu itu. Yang lain manggut-manggut setuju.
Anak abah bajingan. Sudah baik loh pemerintah ini menaikkan pajak untuk barang-barang mewah yang sebenarnya tidak juga kita perlukan dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah kita loh mulia sekali, mau berpihak pada rakyat kecil! Aku cinta Prabowo dan Gibran! Aku rasa, itulah isi hati mereka.
Ingin sekali aku keluar dari tempat
persembunyianku dan berkata, “Pajak atas barang-barang mewah masuknya ke dalam
PPnBM, bu! Lagipula, kebutuhan sehari-hari seperti sabun, shampo, dan deterjen
juga ikut dinaikkan pajaknya!”
Bukan Barang Mewah! Sabun, Deterjen, Sampai Pakaian Kena PPN 12%
Tapi ah, apa daya... aku cuma bocil.
Dari sini aku yakin kalau pemerintah Indonesia itu sebenarnya tidak bodoh seperti yang kita duga. Mereka pintar kok... pintar membohongi rakyat maksudnya.
Oh, andai saja aku punya kekuatan untuk meyakinkan orang-orang untuk menyetujui opiniku, meskipun opiniku itu bodoh sekali seperti yang para buzzer lakukan. Bocil macam aku akan kalah dari buzzer-buzzer yang mereka amini perkataannya. Andai saja mereka sadar, jika kenaikan pajak yang mereka bela-bela itu akan digunakan untuk membayar para buzzer.
Maaf buat para peternak di negeri ini.
Kalian akan kalah dengan buzzer yang semakin subur saja ternak akunnya.
Di tahun 2025 nanti, ayo kita sama-sama
jadi buzzer saja. Enak kok kerjanya. Cuma jilatin pantat penguasa aja
udah dapat duit. Jangan mau jadi orang yang waras ya. Negara ini sudah gila.
Mending kita ikut-ikut gila aja daripada mencoba waras tapi ujung-ujungnya ya
tetap bakal jadi gila juga.
Komentar
Posting Komentar