Aku Kecewa pada Edisi Baru Tetralogi Pulau Buru yang Diterbitkan Oleh KPG
Tahun ini, para pecinta sastra di Indonesia tengah dihebohkan dengan kabar akan diterbitkannya cetak ulang buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Anantya Toer. Sebagai seorang sastrawan legendaris Indonesia, tentu saja buku-buku penulis yang kerap disapa dengan nama Pram ini menjadi incaran banyak orang. Terlebih lagi, edisi lama buku-buku beliau sudah lama tidak diterbitkan, sehingga buku-bukunya menjadi luar biasa langka. Saking langkanya, orang-orang bahkan rela membayar berapapun untuk bisa mendapatkan buku-buku beliau.
Nah, kabar baiknya, di tahun ini, karya-karya penting Pram, yaitu Tetralogi Pulau Buru akan dicetak ulang. Tentunya, banyak banget dong yang gembira mendengar kabar ini. Buku-buku Pram terkenal sering dijual dengan harga yang nggak ngotak, sehingga tidak semua orang mampu membelinya. Dengan adanya edisi baru yang akan dicetak ulang ini, diharapkan harganya akan menjadi lebih terjangkau sehingga semua orang bisa membeli dan membaca karya-karya beliau.
Penerbit yang akan mencetak ulang karya-karya Pram kali ini adalah Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), salah satu penerbit besar dan bergengsi di negara ini. Mereka pun sudah gencar mempromosikan buku-buku yang udah diincar hampir semua orang itu. Kemarin, baru saja mereka memposting desain sampulnya.
Sampul buku-buku Tetralogi Pulau Buru ini didesain dengan warna biru, sesuai dengan warna kesukaan mendiang Pram. Tapi sayangnya, alih-alih excited, aku justru kecewa berat saat melihat desain sampulnya.
Karena... desain sampulnya flat banget cuy!
Dari gambar di atas, kalian bisa lihat betapa minimalisnya desain sampul buku yang digembar-gemborkan sebagai edisi spesial yang diterbitkan seabad sejak kelahiran Pram itu.
Sampul buku yang cuma berupa tulisan dengan latar berwarna biru relisilience terlalu sederhana dan flat untuk sebuah "edisi spesial." Padahal, kalau KPG dari awal sudah membranding edisi ini sebagai "edisi spesial", seharusnya bisalah membuat sampul dengan desain yang lebih baik. Jangan mentang-mentang karena ini Pram, yang reputasinya sudah tidak perlu ditanyakan lagi, lalu bisa seenaknya membuat sampul buku yang kelihatannya dibuat asal jadi aja.
Kita mengenal kalimat, "Don't judge a book by its cover." Ya memang, kalimat itu ada benarnya. Tampilan luar suatu buku tidaklah begitu penting jika dibandingkan dengan isinya. Namun, apakah ini lantas membuat tampilan sampul buku tidak penting sama sekali?
Menurutku, sampul buku adalah perkenalan awal kita dengan suatu buku. Biasanya, sampul buku memuat elemen-elemen atau ilustrasi yang bisa menggambarkan, kira-kira apa isi bukunya. Selain itu, tampilan sampul buku adalah hal pertama yang membuat kita tertarik pada suatu buku saat berkunjung ke toko buku.
Jadi, bagiku, sampul buku yang bagus adalah sampul buku yang bisa memberi gambaran sekilas mengenai isi bukunya. Gambaran itu menjadi "identitas" suatu buku. Ya, sama aja kan kayak manusia. Kepribadian dan pemikiran kita sangat berpengaruh besar terhadap penampilan kita. Inilah yang membuat kita berbeda-beda antara satu sama lain, dan itulah yang membuat kita ini unik. Seharusnya, konsep itu juga bisa berlaku pada buku. Meskipun buku-buku yang akan dicetak ulang oleh KPG ini merupakan satu series, pastilah ada perbedaan di tiap-tiap bukunya. Dengan desain sampul yang memuat gambaran mengenai isi di tiap-tiap bukunya, tentu ini akan membuat edisinya terasa semakin spesial, karena setiap buku seolah memiliki "jiwa" yang berbeda-beda.
Selain itu, sampul buku adalah a piece of art. Sampul buku itu seolah lukisan di musuem. Bukan hanya sekadar gambar yang indah, melainkan juga sebuah medium penceritaan. Bukankah sampul yang indah dan menggambarkan dengan baik apa yang ada di dalam bukunya sangat menyenangkan untuk dilihat? Apalagi, katanya ini kan "edisi spesial", harusnya bisa dong menjadi pelengkap koleksi yang cantik, yang bisa membuat kita merasa senang dan kagum tiap kali melihatnya terpajang di rak buku.
Alasan lainnya lagi kenapa sampul minimalis KPG ini jelek, adalah karena sampul itu tentunya tidak akan menarik minat orang yang belum mengenal Pram dan karya-karyanya. Sampul buku yang baik seperti yang sudah aku sebutkan, tentunya bisa memberi gambaran kepada orang-orang yang belum mengenal Pram mengenai siapa beliau dan apa yang ada di dalam karya-karyanya. Sampul buatan KPG ini sama sekali tidak terlihat seperti sampul novel, malah lebih kayak buku-buku akademis. Orang yang belum tahu siapa itu Pram bisa saja mengira kalau ini buku non-fiksi, atau malah bisa saja mereka mikir, "Ah ini buku kayaknya nggak menarik deh. Males jadinya mau baca."
Meski kalimat "Don't judge a book by its cover" juga mengandung kebenaran, tak bisa dimungkiri bahwa penampilan luar itu penting untuk first impression. Tahap pertama untuk mengenal suatu buku dan penulisnya.
Selain sampul, ada lagi satu hal yang membuatku berpikir untuk mengurungkan niat membeli buku ini. Yaitu, tak lain dan tak bukan adalah harganya yang mahal banget!
Jadi, ada beredar chat dari grup WhatsApp reseller Gramedia mengenai harga tiap-tiap bukunya dan kebijakan Gramedia yang mencekik para reseller-nya. Dalam tangkapan layar itu, disebutkan bahwa harga tiap-tiap bukunya adalah Rp180.000, dan reseller juga tidak diperkenankan untuk memberi diskon. Selain mencekik para calon pembeli, ini juga mencekik para pedagang toko buku kecil-kecilan. Jika para reseller tidak boleh memberi diskon, pelanggan tentunya akan memilih untuk membeli buku itu di tempat lain, dan tempat itu tak lain adalah toko buku Gramedia sendiri. Tentu saja hal ini mendapat kecaman dari para warganet pecinta buku, karena kebijakan ini bisa membuat para pemilik toko buku kecil megap-megap dan berpotensi bangkrut.
Padahal, Pram dikenal sebagai penulis yang seringkali membawakan pemikiran sosialisme ke dalam karya-karyanya. Melihat karya-karya beliau yang justru di-milking oleh para kapitalis ini sukses membuat banyak orang merasa miris.
Aku harap Gramedia ini mau mendengarkan protes para warganet dan mempertimbangkan ulang kebijakan mereka. Industri perbukuan di Indonesia ini memang lumayan lesu kalau dibandingkan dengan negara lain. Sudahlah harga buku mahal, pemerintah pun sama sekali tidak peduli akses masyarakatnya ke buku, lalu ini toko-toko buku kecil pun terancam binasa pula. Entah seperti apa nasib yang menunggu dunia perbukuan kita di masa depan.
Komentar
Posting Komentar