10 Buku Terbaik yang Gue Baca di Tahun 2023

 Happy new year guys! Udah lama ya gue nggak nulis di blog (lagian nggak ada yang peduli juga sih, kan blog-nya sepi), udah gitu ngucapin selamat tahun barunya telat lagi. Haha. Beberapa saat ini, gue emang buntu ide; ga tau mau nulis apa di blog. Gue sebenarnya pengen bikin tulisan review buku gitu sih, tapi ribet masukin gambarnya. Haruskah ngambil gambar dari dokumen pribadi? Masalahnya, gue reader kere yang seringnya baca e-book gratisan di iPusnas; jadi susah mau memotret buku apa saja yang udah selesai gue baca. Tapi kayaknya, gue harus belajar ngedit deh. Entar lah ya, nanti blog ini bakal gue jadikan tempat nge-review buku (kalau ada mood buat nulis juga sih) dan tempat gue nulis beberapa unpopular opinion (tapi kayaknya ini mending tulis di Terminal Mojok aja deh, soalnya kan bisa dapat duit). Ah, gue juga masih belum tahu mau nulis apaan ke depannya. Siapapun kalian; entah hantu ataupun malaikat pencatat amal dan dosa, doakan aja ya, gue bisa ngisi blog ini biar nggak kosong-kosong amat, entar kalau dibiarkan kosong malah jadi lapak Mixue lagi.

Oke guys, gue mau throwback ke tahun lalu. Gue bukan orang yang optimis ataupun ambius, jadi gue nggak bikin resolusi tahun baru yang muluk-muluk, soalnya entar juga cuma jadi sekadar wacana. Hanya ada satu saja resolusi tahun baru yang gue buat tahun lalu, yaitu: memperbanyak membaca buku.

Gue sadar, kalau semenjak emak masang WI-FI di rumah, gue jadi jarang banget baca buku. Keseharian gue kalau nggak nonton anime ya pasti scroll TikTok. Perkara nonton anime memang bukan masalah, soalnya gue juga nggak kecanduan, tapi kebiasaan scroll TikTok ini yang mengkhawatirkan. Pasalnya, gue bisa tahan mantengin FYP sampe berjam-jam, atau bahkan seharian! Nah, scroll TikTok ini udah jadi bad habbit banget lah ya di diri gue. Apalagi, gue pernah nemu artikel yang menyatakan kalau kebanyakan nonton video pendek (nggak cuma TikTok ya, Instagram reels sama YouTube Shorts juga termasuk) punya dampak nggak baik ke otak; yang mana itu bisa bikin kita susah fokus. Kayaknya yang ini nggak perlu dijelaskan panjang lebar, karena udah pada bisa nebak kenapa nonton video pendek itu bisa berpengaruh buruk pada kemampuan kita untuk fokus pada satu hal, atau kalau mau yang lebih jelasnya lagi, kalian bisa cari pembahasannya yang lebih lanjut di Google maupun YouTube. Banyak kok artikel sama video yang ngejelasin hal ini.

Mumpung belum terlambat, gue segera menghentikan pelan-pelan kebiasaan ini dan membangun habit membaca buku. Membaca buku, menurut artikel yang udah pernah gue baca, bisa meningkatkan daya fokus kita; kebalikannya video-video pendek lah ya. Nah, pada awalnya, membangun kebiasaan ini sulit banget guys, mungkin lebih sulit daripada melupakan Rehan yang baik (apaan sih). Awalnya, gue cuma tahan sekitar satu sampai dua jam aja paling lama dalam sehari saat membaca buku, tapi sekarang, syukurlah udah meningkat menjadi empat sampai enam jam dalam sehari. 

Gue memang lebih banyak baca novel sih, ketimbang baca buku non-fiksi, apalagi buku pelajaran sekolah. Tapi sebisa mungkin, gue memilih buku fiksi yang memang benar-benar berkualitas; dari segi kebahasaan sampai isu yang diangkat dalam ceritanya. Memang, baca karya sastra itu bikin pusing pada awalnya, tapi kalau udah terbiasa, entar jadi enjoy juga.

Nah, nggak usah basa-basi lagi, langsung aja gue kasih list sepuluh buku terbaik yang udah gue baca di tahun 2023. 

1. 1984 - George Orwell


Well, gue bukan penggemar politik; bahkan bisa dibilang gue sama sekali nggak tertarik sama politik. Kalau ada yang ngomongin soal capres (mumpung tahun ini kan tahun politik), gue cuma bisa nyimak aja--tapi bukan berarti gue benar-benar buta politik sampe pas pemilu nanti gue milih pake cap cip cup aja. Back to the topic, pada awalnya gue memutuskan buat baca buku ini karena ini novel bertema distopia. Tapi gara-gara novel ini pula, gue jadi tertarik sama sejarah komunisme dan era Stalinisme di Uni Soviet.

Yah, buku ini menceritakan tentang Wilson, seorang pegawai yang hidup di sebuah negara yang dipimpin oleh seorang diktator yang kerap disebut sebagai Big Brother atau Bung Besar di versi Bahasa Indonesia-nya. Di negara ini, tiap warganya diawasi 24/7 oleh pemerintah, termasuk pemikiran di dalam otak pun juga tak luput dari pengawasan. Di sini juga diceritakan gimana pemerintah memanipulasi pemikiran warganya, dengan menghanguskan berbagai dokumen, dan menyederhanakan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari agar otak rakyatnya menjadi tumpul. Satu hal yang benar-benar menarik dari novel ini adalah, penjabaran tentang bagaimana bahasa yang kita gunakan dalam keseharian, punya efek yang sangat besar dalam membentuk pemikiran kita. Kata dengan makna konotatif, menunjukkan bagaimana luasnya pemikiran kita, dan inilah yang ingin dihancurkan oleh pemerintah dalam novel ini.

1984 memang novel yang cukup berat dan perlu usaha ekstra buat menuntaskannya. Tapi, gue harus bilang di sini, kalau ini salah satu novel paling brilian yang pernah ada, dan wajib dibaca siapa pun, minimal satu kali dalam seumur hidup.

2. No Longer Human - Dazai Osamu


Kayaknya kalian bisa nebak apa yang jadi alasan gue membaca novel ini. Apa lagi kalau bukan gara-gara husbu kesayangan gue Dazai dari BSD. Mungkin ya, hampir semua penggemar BSD (Bumi Serpong Damai Bungo Stray Dogs), pernah baca novel ini. Karakter utamanya, Oba Yozo, memang dijadikan referensi untuk karakter Dazai di BSD, jadi buat para istri Dazai yang ingin memahami suaminya dengan lebih baik, monggo baca novel ini.

Jadi, sebenarnya ini tuh novel semi-autobiografi dari penulisnya sendiri. Narasi dalam novel ini memang dipenuhi dengan curhatan di tokoh utama yang merasa depresi dan teralienisasi. Ia merasa jika dirinya beda dari manusia-manusia lain yang ada di sekitarnya, sehingga nggak ada yang bisa memahami perasaannya. Yozo bahkan merasa jika dirinya adalah manusia gagal yang nggak akan pernah bisa diterima dalam masyarakat.

Yang lebih menyedihkannya lagi, novel ini adalah tulisan terakhir Dazai Osamu sebelum beliau mengakhiri hidupnya sendiri dengan menggelamkan diri di sungai bersama kekasihnya. Itulah kenapa, nuansa depresif dan perasaan si tokoh utama bener-bener menghanyutkan. Membaca novel ini, kalau kalian lagi merasa sedih, bisa menjadi pedang bermata dua. Novel ini bisa membuat kalian merasa punya teman senasib yang bisa mengerti perasaan kalian, tapi juga bisa membuat kalian makin putus asa. Untunglah, yang gue rasakan waktu membaca buku ini adalah yang pertama.

Buat yang mau baca, saran gue pelan-pelan aja ya bacanya. Meskipun novelnya sendiri tipis (sekitar 100 halaman), tetap aja, ini bukan bacaan yang bisa diselesaikan dalam sekali duduk. 

3. Pengantin Remaja - Ken Terate


Rasanya nggak afdol kalau gue nggak masukin novel teenlit lokal ini di sini. Gue bener-bener mengapresisasi si penulisnya yang menulis novel remaja tentang realita pahit dari pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini, sementara kebanyakan teenlit yang ada di Indonesia terutama yang dari platform oren, malah meromantisasi hal ini.

Berlatar di sebuah pedesaan, novel ini menceritakan tentang seorang remaja perempuan yang kebelet kawin sama pacarnya, bahkan sampai rela nggak menyelesaikan studinya di SMA. Ironisnya, pernikahan ini malah didukung sama bapaknya yang mikir, "Mending nikah muda daripada zina." Tapi malangnya, bayangan manis pernikahan itu tidak pernah terwujud, dan si tokoh utama harus menghadapi "neraka dunia" bernama Rumah Si Mertua yang Resek.

Cerita, latar tempat, dan penokohannya memang terasa sangat akrab bagi kita sebagai orang Indonesia, apalagi buat orang yang tinggal di daerah pinggiran ataupun pedesaan. Menurut gue, ini adalah novel yang seharusnya dibaca sama semua orang, nggak terkecuali juga orang dewasa, karena novel ini akan memberikan pencerahan secara menyenangkan kepada para pembacanya; kalau pernikahan dini yang dilakukan tanpa pikir panjang itu justru akan menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Entah itu karena pasangan yang belum berpikiran dewasa, sifat asli pasangan yang beda dari waktu pacaran, sampai kesulitan ekonomi.

(Note: sorry guys, gue nggak nemu foto penulisnya)

4. A Tale of Two Cities - Charles Dickens

Tahun ini gue banyak baca sastra klasik, terutama sastra dari mancanegara ya. Mulai dari sastra Inggris, Amerika, Rusia, sampai Jepang gue baca—walaupun cuma baca versi terjemahannya, sih. Haha. Salah satu sastra klasik dari abad ke-19 yang gue baca adalah A Tale of Two Cities karya Charles Dickens. Di tahun kemarin, gue ada coba baca dua novelnya Dickens; yaitu novel ini dan Oliver Twist. Dua-duanya sama-sama bagus sih, tapi gue lebih prefer A Tale of Two Cities. Ini novel juga pernah gue bahas di pelajaran Bahasa Indonesia waktu masuk di materi tentang novel, saking sukanya gue sama novel ini. 

Jadi ini tuh novel sejarah yang berlatar di masa sebelum sampai semasa Revolusi Prancis di abad ke-18. Bercerita tentang keluarga Manette yang punya masa lalu kelam di Prancis yang kemudian memutuskan untuk pindah ke London. Lalu, suami Lucie Manette yang bernama Charles Danray, terpaksa pergi ke Paris di tengah pergolakan revolusi karena harus nyelametin seorang teman. Keputusan nekatnya ini malah mendatangkan masalah baru, karena Charles Danray ketahuan kalau dia keturunan bangsawan, sehingga diapun dipenjara. 

Gue bukan penggemar, tapi juga nggak benci novel romantis. Alasan kenapa gue suka novel ini, salah satunya karena kisah cintanya yang bikin terharu, nggak alay, dan porsinya pun pas; alias nggak banyak sampe mengganggu aspek cerita yang lain. Keadaan di Paris semasa Revolusi Prancis juga ditulis dengan apik, jadinya gue bisa ikut ngerasain betapa seremnya keadaan di masa itu. Yang lebih kerennya lagi, ceritanya sekilas kayak sederhana ya, tapi aslinya banyak banget plot twist-nya. 

Ngomong-ngomong, gue pernah bikin tafsiran ala-ala ahli sastta mengenai novel ini. Bahkan, gue juga udah mempersiapkan diri buat mengemukakan tafsiran gue waktu ngebahas novel ini di depan kelas. Tapi sialnya, rencana gue batal karena ada suatu hal menyebalkan yang malas gue tulis di sini. Jadi, gue menafsirkan kalau dua kota di novel ini adalah simbolisasi dari masa lalu dan masa kini. Paris adalah simbol dari masa lalu, tempat tokoh-tokoh ceritanya dulunya tinggal sebelum pindah ke London, di mana kota itu juga jadi tempat pertemuan tokoh-tokoh utama, yang juga menyimpan kenangan kelam Dr. Manette dan Charles Danray. Meski mereka udah pindah ke London, tetap saja mereka nggak bisa langsung memutuskan hubungan dengan Paris. Charles Danray harus kembali ke sana buat nyelametin orang yang ngurus lahan punya keluarganya. Keluarga Manette mau nggak mau juga harus ikut ke Paris. Ini menunjukkan jika kita tetap nggak bisa lepas dari masa lalu begitu aja tanpa mempertanggungjawabkannya. Tiap perbuatan kita, suatu saat nanti, pasti akan menuntut pertanggungjawaban.

5. Kosmos - Carl Sagan

Gue nyoba baca buku non-fiksi tahun lalu. Biasanya kan, gue baca buku fiksi doang. Nah, tahun lalu gue nyoba buat sedikit keluar dari zona nyaman. Meskipun rasanya agak menakutkan pada awalnya, tapi rupanya, kalau udah nemu buku yang tepat, rasanya enak aja tuh. Salah satu buku non-fiksi favorit gue dari tahun lalu ada Kosmos karya Carl Sagan. Buku yang membahas tentang astronomi, yang nyerempet pembahasan tentang matematika, fisika, dan sejarah. Gue emang nggak tertarik sama sains, soalnya gue bego banget di bidang itu, tapi buku ini bikin sains jadi kelihatan cukup menyenangkan buat orang awam bagi gue.

Buku ini mengajak kita mengenal alam semesta. Nggak cuma sebatas di bumi saja, tapi juga di luar angkasa, bahkan sampai di planet-planet tetangga. Kira-kira, di luar angkasa itu ada apa saja sih? Kenapa kita tinggal di bumi, bukan di planet lain kayak Mars atau Venus? Kalau kalian tertarik dengan pembahasan semacam itu, kalian juga harus baca buku ini. Buku ini juga ngebahas tentang sejarah ilmu astronomi itu sendiri loh! Kalian bakal diajak untuk mengenal pemikiran orang-orang dari berbagai zaman; mulai dari zaman purba, kemudian ke Yunani kuno, hingga zaman modern sekarang ini.

Penulisan dan gaya bahasa yang sederhana memang cocok buat kita-kita, orang yang awam dalam ilmu sains ini. Tapi jujur aja sih, ada beberapa pembahasan di buku ini yang nggak gue pahami, tepatnya pada pembahasan yang menyangkut matematika dan fisika. But still, gue tetap suka sama buku ini, karena selain menambah pengetahuan, buku ini pun juga bisa merangsang imajinasi para pembacanya.

6. Gun, Germs, and Steel - Jared Diamond

Buku sejarah yang jauh lebih menyenangkan daripada buku pelajaran di sekolah. Buku ini berhasil menjawab rasa ingin tahu gue mengenai perbedaan perkembangan peradaban di dunia. Kenapa orang Eropa lebih maju, sampai bisa menjajah banyak bangsa di dunia; sedangkan orang-orang Asia, Amerika, Afrika, dan Australia bisa kalah dari mereka? Apakah ada faktor IQ yang berperan di sini?

Nah, kita bakal diajak untuk pergi ke masa lalu, di mana manusia masihlah makhluk yang berkeliaran, berpindah-pindah tempat, untuk mencari makanan. Lalu, manusia menemukan cara untuk bertani dan mengembangbiakkan berbagai jenis tumbuhan untuk makanan, yang perlahan-lahan menghilangkan kebiasaan berburu dan mengumpulkan makanan. Tapi sayangnya, nggak semua orang di berbagai wilayah bisa melalui proses transisi ini dengan mudah. Ada faktor alam yang mempengaruhi. Selebihnya, mending kalian baca sendiri aja, karena kalau gue jelasin bakalan jadi panjang banget sih. Hehe...

7. The Master and Margarita - Mikhail Bulgakov

Salah satu hal yang gue sayangkan dari dunia kesusastraan di negara kita adalah kurangnya terjemahan novel-novel Rusia! Padahal novel Rusia itu terkenal bagus banget, dan bahkan banyak sastrawan besar dunia yang berasal dari Rusia. Tapi sayang, masyarakat kita kayaknya masih kurang minatnya buat baca sastra Rusia, karena memang, sastra Rusia itu berat! Jujur aja nih, gue sering pusing bacain sastra Rusia, tapi entah kenapa, gue tetap nggak kapok. Rasanya candu. Makanya gue sangat bersyukur, The Master and Margarita akhirnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Begitu gue ngelihat novel ini di Shopee, tanpa pikir panjang gue langsung checkout, tanpa minta persetujuan emak dulu. Wkwk. (Jangan ditiru ya guys.)

Novel ini ditulis oleh Bulgakov sebagai kritik atas kebijakan-kebijakan yang mengekang dan kehidupan sosial di masa pemerintahan Stalin. Seperti, sensor ketat terhadap karya sastra, larangan menyimpan uang dari negara lain, sampai kampanye atheisme yang terus digalakkan juga menjadi sasaran kritik pedas Bulgakov. Satir di novel ini benar-benar dikemas dengan cerdas, menohok tapi juga lucu. Meskipun sudah berpuluh-puluh tahun sejak ditulis, tetap saja, ada beberapa sindirannya masih relevan sampai sekarang.

Ada dua latar waktu dan tempat di dalam ceritanya, yaitu di Moskow pada abad ke-20 dan Jerusalem di awal tahun Masehi, di zaman waktu Yesus masih hidup. Di Moskow modern, ceritanya ada sekelompok iblis yang berkeliaran di kota yang melakukan berbagai kejahilan, serta seorang sastrawan yang dipanggil dengan sebutan Master yang masuk rumah sakit jiwa setelah membakar manuskrip novelnya yang kena hujat habis-habisan sama kritikus sastra. Sedangkan di Jerusalem kuno, ada seorang prokurator yang tidak setuju dengan keputusan hakim untuk membunuh Yeshua (atau Yesus). Tapi, alurnya sendiri benar-benar bikin pusing. Novel ini bisa dibilang alurnya tuh random banget; kayak mimpi waktu lagi demam. Meski begitu, alurnya yang super duper aneh ini malah menjadi daya tarik dan keunikan tersendiri.

8. The Geography of Genius - Eric Weiner

Satu lagi buku non-fiksi yang menyenangkan. Buku ini mengajak para pembacanya untuk berkunjung ke tempat-tempat yang pernah melahirkan orang-orang genius di masa kejayaannya. Sebut saja seperti Athena yang menjadi tempat tinggal filsuf legendaris seperti Plato, Socrates, dan Aristoteles; Wina yang terkenal dengan musisi legendarisnya, yakni Mozart dan Beethoven; ataupun Florence yang pernah menjadi pusat kelahiran banyak karya seni yang dibuat oleh seniman-seniman hebat seperti Leonardo Da Vinci dan Michelangelo.

Tak hanya mengenal berbagai orang-orang hebat dari masa keemasan kota-kota tadi di masa lalu, penulis juga memaparkan apa saja faktor-faktor yang membentuk seseorang menjadi genius, apa yang membuat kota-kota itu pernah berada di masa kejayaannya, serta kebiasaan unik dari orang-orang genius itu sendiri.

Membaca buku ini, rasanya kita seolah benar-benar pergi untuk mengunjungi tempat-tempat itu, ditemani oleh Eric Weiner sebagai pemandu wisata yang menceritakan tentang sejarah serta keunikan dari kota-kota yang kita kunjungi. Gara-gara buku ini, gue jadi kepo sama karya-karya Eric Weiner yang lain.

9. Ensiklopedia Sastra Dunia - Anton Kurnia

Sebenarnya ini adalah buku referensi, yang seharusnya tidak terasa begitu menyenangkan untuk dibaca. Bahkan, buku ini bisa dibaca sambil di-skip-skip. Buku ini cocok banget buat kalian yang pengen menyelami karya sastra dari berbagai belahan dunia. Di buku ini, kalian akan menjumpai daftar beserta biografi singkat dari penulis-penulis hebat dari seluruh dunia. Tak hanya mengenal penulis, kita juga akan dikenalkan kepada berbagai penghargaan sastra bergengsi di dunia. Kalau di Indonesia ada Kusala Sastra Khatulistiwa, kalau di kancah internasional ada yang namanya Nobel Sastra, Pulitzer Prize, International Dublin Literary Award, dan Man Booker Prize. Di tiap-tiap negara juga ada penghargaan sastranya sendiri-sendiri, contohnya kayak Akutagawa Prize di Jepang. Kita juga akan menemukan list karya-karya sastra terbaik dunia. Buat kalian yang suka baca, gue harus ingatkan kalau buku ini bahaya banget, soalnya berpotensi untuk menambah daftar TBR kalian yang sudah menumpuk itu. Hahaha.

10. Sherlock Holmes Series - Arthur Conan Doyle

Sebenarnya kalau masukin ini, harusnya gue nulis angka 18 di judul, bukannya 10. Tapi anggap ajalah series ini sebagai satu buku, lagian juga kan ceritanya juga masih dalam satu kesatuan. Gue kenal Sherlock Holmes dari Majalah Bobo, karena dulu Majalah Bobo pernah memuat beberapa cerpen Sherlock Holmes yang udah ditulis ulang sama redaksinya biar mudah dimengerti anak-anak, tapi baru-baru ini gue baca karya aslinya. Tapi sebenarnya, gue alasan utama gue tertarik baca ini gara-gara anime Moriarty The Patriot sih. Selama baca, gue udah nyari-nyari husbu gue, William, tapi rupanya nggak ada. Albert, William, dan Louis yang dikenal sebagai "Moriarty Siblings" itu taunya karangan dari si mangaka, nggak canon dengan cerita aslinya. Wkwkwk. Baru kali ini gue tertarik baca cerita detektif dan ternyata seru juga. Selama baca series ini, gue rela sama sekali nggak buka TikTok dan Instagram selama seminggu, yang kemudian malah jadi kebiasaan. Sekarang, gue jarang banget nonton TikTok. Kalau Instagram sih masih sering buka, cuma intensitasnya udah nggak sebanyak dulu. Berarti, sukses dong misi gue buat ngurang-ngurangi kebiasaan scroll TikTok.

Ya, itulah buku-buku terbaik yang udah gue baca selama tahun 2023. Tahun kemarin, gue sukses membaca 85 buku! Gokil nggak tuh? Sayangnya, di antara 85 buku itu, nggak ada sama sekali buku berbahasa Inggris. Kayaknya, mulai dari tahun ini, gue harus baca buku bahasa Inggris deh. Tapi duh... baca buku bahasa Indonesia lebih asyik! 

Di luar sepuluh buku tadi, masih ada buku yang cukup berkesan bagi gue, kayak Catatan dari Bawah Tanah karya Fyodor Dostoyevsky, Anna Karenina karya Leo Tolstoy, Lukisan Dorian Gray karya Oscar Wilde, Dracula karya Bram Stoker, Les Miserables karya Victor Hugo, dan Putri Kedua karya Chan-Ho Kei. Tapi kalau dimasukin semua jadi banyak banget ya, dan gue nggak bakal sanggup ngetiknya. Jadi ya udahlah, segini aja dulu. 

Nah, kalau kalian gimana? Apa buku terbaik yang udah kalian baca di tahun 2023?

Komentar

Postingan Populer