[BAHAS BUKU #3] • Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari


Sesuai dengan judulnya, novel ini menceritakan tentang gejolak kehidupan seorang ronggeng. Srintil adalah ronggeng yang menjadi pusat dari cerita ini. Srintil hidup di pedukuhan yang bernama Dukuh Paruk, sebuah desa fiksi di daerah Jawa Tengah. Dukuh Paruk adalah tempat yang terbelakang; penuh dengan kebodohan dan kecabulan. Satu hal yang dibanggakan oleh orang-orang Dukuh Paruk adalah tradisi ronggeng yang menjadi napas kehidupan orang-orang Dukuh Paruk. 

Setelah sekian lama menjalani kehidupan yang hambar tanpa ronggeng, warga Dukuh Paruk akhirnya berbahagia setelah indang ronggeng hidup di tubuh Srintil, seorang gadis cantik yang merupakan cucu dari kamitua Dukuh Paruk. Di usia belia, Srintil sudah menunjukkan kebolehannya dalam hal meronggeng. Setelah dirinya diresmikan menjadi ronggeng, Srintil pun dalam sekejap menjadi sumber kebahagiaan dan kebanggan orang-orang Dukuh Paruk. Satu-satunya pengecualian adalah Rasus, teman masa kecil Srintil. Ia merasa patah hati begitu Srintil yang ia cintai resmi dinobatkan menjadi perempuan milik semua orang. Mengabaikan kenyataan bahwa perasaannya terbalas, Rasus meninggalkan Srintil dan Dukuh Paruk. Ia mulai meniti karirnya sebagai tentara.

Geger komunis 1965 pecah. Srintil dan seluruh warga Dukuh Paruk yang lugu terlibat dalam kegegeran itu. Srintil pun ditangkap dan ditahan selama dua tahun. Setelah memperoleh kebebasannya, Srintil mendapati kehidupan sudah tak lagi sama seperti dulu. Ia bertekad untuk melupakan masa lalunya dan menjadi seorang wanita yang 'baik-baik.' Sayang, lagi-lagi tragedi terjadi pada kehidupan Srintil. Tragedi yang merupakan buah dari kebodohan dan keluguan Dukuh Paruk.

Roman ini menyajikan berbagai permasalahan kompleks, yang sayangnya hingga sekarang masih menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Mulai dari masalah patriarki, kebodohan dan keterbelakangan, kemanusiaan, hingga kekuasaan. Semuanya terjalin rapi dalam kisah ini. Penulis menunjukkan jika semua permasalahan itu saling berkaitan antar satu sama lain.

Kebodohan dan keterbelakangan adalah dua hal yang menjadi ciri khas Dukuh Paruk. Orang-orang di Dukuh Paruk adalah orang-orang yang buta huruf, lugu, dan tidak tahu apa-apa tentang dunia di luar pedukuhan mereka. Mereka masih percaya pada hal-hal mistis, salah satunya adalah kekuatan arwah leluhur. Makam Ki Secamenggala dikeramatkan oleh mereka, sebab mereka percaya jika leluhur mereka itu dapat memberikan rahmat yang akan menjaga pedukuhan mereka tetap damai sentosa, tetapi juga dapat memberikan bencana apabila mereka melakukan sesuatu yang kiranya tidak disukai oleh Ki Secamenggala. Kompas moral mereka pun sangat jauh berbeda dari orang-orang di luar Dukuh Paruk.

Satu-satunya hiburan mereka adalah ronggeng. Bagi semua orang Dukuh Paruk, tarian dan nyanyian ronggeng beserta irama calung yang mengiringinya adalah jalan untuk melarikan diri dari permasalahan hidup. Bagi laki-laki, seorang penari ronggeng adalah tempat untuk menyalurkan hasrat berahi mereka. Sedangkan bagi perempuan, seorang penari ronggeng adalah simbol kekuatan yang dapat membuat laki-laki bertekuk lutut. Ada kontradiksi dalam hal ini. Ronggeng di mata laki-laki tak lebih dari sekadar objek untuk memuaskan nafsu dan pikiran cabul mereka, tetapi di saat yang bersamaan, seorang ronggeng bisa membuat mereka rela bertekuk lutut atau bahkan bertindak seperti orang bodoh.

Seorang ronggeng adalah milik semua orang. Di Dukuh Paruk, ronggeng tak hanya berlenggak-lenggok di atas panggung. Ronggeng juga harus bisa menjadi pemuas berahi di atas ranjang. Sebagai seorang ronggeng, Srintil bahkan harus rela dirinya dijadikan objek untuk kepuasan laki-laki. Srintil seolah tak punya otonomi atas dirinya sendiri. Kehendaknya harusnya sejalan dengan kehendak induk semangnya, Nyai Kartareja. 

Dalam suatu waktu dalam hidupnya, Srintil mempertanyakan perihal identitas dan otonomi atas dirinya. Ia punya keinginan dan kehendak sendiri. Namun, semua itu seolah tak ada artinya di mata Nyai Kartareja dan juga semua orang Dukuh Paruk. Ia dituntut untuk bisa menyenangkan semua orang dengan tariannya. Tak peduli apakah dia mau atau tidak. Bagi Nyai Kartareja, Srintil pun tak ubahnya dengan mesin uang. Nyai Kartareja tak mau repot-repot memahami perasaan Srintil. Yang ia peduli hanyalah uang yang bisa ia dapat melalui Srintil. Srintil seolah tak punya kuasa atas tubuh dan jiwanya sendiri.

Akibat kebodohan dan keterbelakangan itu pula, Dukuh Paruk mengalami kehancuran saat mereka terlibat dalam kekacauan di tahun 1965. Keterlibatan itu sebenarnya bukan hal yang disengaja. Mereka yang buta huruf dan tak tahu apa-apa tentang kehidupan di luar sana tidak mengerti apa makna slogan-slogan dan lambang partai komunis yang dipasang di pedukuhan mereka. Rombongan ronggeng Srintil tidak tahu apa-apa mengenai acara-acara yang mereka hadiri.

Srintil yang lemah harus tunduk pada mereka yang berkuasa. Orang-orang yang berkuasa di pemerintahan memperlakukan Srintil seenaknya, dan malangnya Srintil tidak bisa menolaknya. Statusnya sebagai bekas tahanan juga menjadi rantai berat di kakinya. Orang-orang yang berkuasa itu memanfaatkan ketidakberdayaan Srintil demi keuntungan mereka sendiri. 

Ahmad Tohari menyinggung perihal para pemangku kekuasaan yang tidak punya kesadaran akan kewajiban mereka untuk melepaskan rakyatnya dari kebodohan. Alih-alih membantu, para pemangku kekuasaan itu malah memanfaatkan kebodohan dan keluguan rakyatnya untuk keuntungan mereka sendiri. Meski novel ini menceritakan tentang kehidupan di tahun 1960-70-an dan diterbitkan pada tahun 1982, hal ini tetap terasa relevan di zaman sekarang. Pemerintah memanfaatkan kebodohan rakyatnya untuk mempertahankan kekuasaan. Rakyat dibiarkan menjadi bodoh untuk mendulang suara di pemilu. Lucunya, saat gue baca novel ini, lagi ada berita heboh tentang kenaikan UKT. Respon pemerintah pun lebih lucu lagi dengan mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier. Ternyata, dari dulu sampai sekarang, para pemangku kekuasaan ini sama sekali tidak berubah.  

Yang gue suka dari novel ini adalah bahasanya yang indah banget. Novel ini bisa dipakai buat membungkam mulut orang yang ngatain bahasa Indonesia itu miskin kosakata. Dengan membaca novel ini, kalian bakal lihat kalau bahasa Indonesia itu sebenarnya kaya kosakata. Ada banyak banget kosakata-kosakata indah yang jarang kita dengar di keseharian. Salah satu contohnya adalah 'sasmita' yang berarti 'isyarat tubuh.' Selain itu, ada juga kata 'wangsit' yang artinya 'pesan arau amanat gaib.' Sebelum baca novel ini, gue taunya wangsit itu buku untuk belajar UTBK. Wkwk.

Selain jalinan kosakata yang indah, novel ini juga menyajikan pemandangan alam di pedesaan yang dilukiskan dengan sangat apik melalui kata-kata. Saat membaca novel ini, gue pikir penulisnya memang pintar banget ya. Penulisnya tuh kayak tahu betul berbagai macam hal yang ada di alam, mulai dari hal-hal yang biasa kita lihat, ataupun hal-hal kecil yang biasanya luput dari pandangan kita. Tempat yang menjadi latar cerita itu benar-benar hidup, meskipun kenyataannya, tempat yang bernama Dukuh Paruk itu cuma fiksi. Yang lebih hebatnya lagi, setiap kejadian alam itu dihubungkan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan para karakternya. Dengan ini, penulis seolah ngasih tau kalau alam dan kehidupan manusia itu saling berkaitan.

Tapi nih, ada satu bagian dari novel ini yang bikin gue agak jijik. Yang gue maksud adalah cerita saat Srintil harus menjalani ritual bukak-klambu, salah satu syarat agar ia bisa resmi menjadi seorang ronggeng. Di situ, Srintil diceritakan harus melepaskan keperawanannnya pada seorang laki-laki yang bisa membayar sesuai dengan harga yang dipatok oleh suami-istri Kartareja. Parahnya, waktu menjalani ritual itu, Srintil baru berumur sebelas tahun. Iya bener, SEBELAS TAHUN. Sedangkan yang membeli keperawanan Srintil adalah laki-laki yang udah dewasa. Gila ga tuh. Ngeri juga ya orang-orang di zaman dulu. Untunglah gue hidup di zaman sekarang. Gue ga bisa ngebayangin disuruh berhubungan seksual sama om-om waktu umur gue masih jauh dari usia legal. 

Oh ya, gue juga dapat sedikit pengetahuan sejarah dari novel ini. Gue jadi tahu kalau ada makanan yang namanya tempe bongkrek, dan makanan itu menjadi penyebab keracunan massal sejak zaman Belanda. Dari yang gue dapat di Google sih, tempe bongkrek itu tempe yang dicampur sama ampas kelapa. Jadi, di tempe ini bisa muncul racun yang disebabkan oleh bakteri bernama  Pseudomonas cocovenans. Karena murah, tempe ini menjadi makanan populer, dan pada akhirnya menyebabkan ribuan orang melayang nyawanya. Sebenarnya, tempe bongkrek udah dilarang diproduksi sama pemerintah di tahun 1962. Tapi tetap aja ada orang yang bandel, sehingga sampai tahun 1988, kasus keracunan tempe bongkrek tetap aja ada. Tapi gue ga tahu sih sekarang masih ada ga yang bikin dan makan tempe bongkrek. Pas gue tanya emak sama bapak yang lahir di tahun 1980-an, mereka ga tahu sama sekali tentang tempe bongkrek ini, padahal emak bapak gue orang Jawa. Mungkin aja sekarang udah hampir punah.

Satu kekurangan novel ini adalah banyak banget lirik lagu dan kosakata dalam bahasa Jawa yang ga ada terjemahannya. Sayang banget ya, padahal ga semua orang Indonesia itu orang Jawa dan ngerti bahasa Jawa. 

Komentar

Postingan Populer