[BAHAS BUKU #4] • DAYS AT MORISAKI BOOKSHOP - SATOSHI YAGISAWA
Judul: Days at The Morisaki Bookshop
Pengarang: Satoshi Yogisawa
Penerjemah: Eric Ozawa
Penerbit: Harper Perennial
Halaman: 150 halaman
Gimana ya rasanya jika seandainya kita tinggal di sebuah toko buku dan tidur di kamar yang penuh dengan rak buku? Pasti asyik banget. Mau baca buku tinggal ambil aja. Kita pun nggak perlu khawatir kehabisan buku bacaan karena kita punya banyak koleksi buku.
Gimana kalau seandainya, toko buku yang kita tinggali itu merupakan salah satu dari sekian banyaknya toko buku di lingkungan tempat tinggal kita. Setiap toko buku yang ada di sana berbeda-beda, tidak ada toko buku yang menjual buku yang sama. Kalau bosan sama buku yang ada di toko kita sendiri, kita tinggal jalan-jalan aja. Nggak cuma itu, lingkungan tempat kita tinggal ini juga rutin mengadakan festival buku bekas setiap tahunnya! Bisa dibayangkan betapa asyiknya hunting buku-buku langka di festival itu.
Nah guys, itulah secuil dari kehidupan tokoh utama di novel yang akan kita bahas ini, yaitu Days At Morisaki Bookshop.
Days At Morisaki Bookshop adalah novel yang ditulis oleh Satoshi Yagisawa dan pertama kali diterbitkan di Jepang pada tahun 2009. Versi Bahasa Inggris-nya yang pertama kali diterbitkan oleh Harper Collins pada tahun 2010 dan dialihbahasakan oleh Eric Ozawa. Novel ini sendiri merupakan novel debut Yagisawa-sensei, yang hebatnya berhasil meraih penghargaan di Chiyoda Literature Prize.
Novel ini menceritakan tentang Takako, seorang wanita berusia dua puluh tahunan yang patah hati karena ternyata dia hanyalah selingkuhan pacarnya, Hideaki. Ternyata, selama ini Hideaki sudah memiliki pasangan yang sah dan mereka hendak melangsungkan pernikahan. Akibatnya, hubungan antara Takako dan Hideaki pun kandas. Takako yang merasa hanya dipermainkan oleh Hideaki pun hancur hatinya. Takako memutuskan untuk resign dari pekerjaannya, karena ia tidak sanggup untuk bertemu dengan Hideaki dan tunangannya yang tak lain adalah rekan kerja Takako.
Tak lama setelah ia meninggalkan pekerjaannya, Takako mendapat telepon dari pamannya yang bernama Satoru. Satoru mengajak Takako untuk tinggal di toko buku yang dikelolanya, sekaligus membantu dirinya untuk mengelola toko itu. Satoru mengelola sebuah toko buku bekas di Jimbocho yang merupakan warisan dari generasi ke generasi.
Takako pun mengiyakan ajakan pamannya. Namun, saat di sana, kerjaan Takako hanya tidur-tiduran saat ia sedang tidak membantu pamannya. Meskipun Takako tinggal di tempat yang penuh buku dan tidur di kamar yang dinding-dindingya ditutupi oleh rak-rak buku, ia tidak tertarik untuk membaca karena ia memang tidak suka membaca. Satoru yang bosan melihat kegiatan Takako yang tidur-tiduran mulu pun membujuknya untuk mulai membaca buku dan berkenalan dengan lingkungan tempat tinggal barunya.
Begitu ia berkenalan dengan lingkungan Jimbocho, Takako akhirnya sadar bahwa ia tinggal di lingkungan yang luar biasa asyik. Jimbocho sendiri adalah kawasan yang dipenuhi dengan toko-toko buku bekas. Tak hanya toko buku, di sana pun juga ada penerbit dan kafe-kafe yang memiliki suasana menyenangkan. Berawal dari sana, Takako pun menemukan kecintaannya akan membaca dan berkenalan dengan orang-orang baru yang baik hati. Tak hanya itu, pengalamannya tinggal di Toko Buku Morisaki juga merekatkan hubungan antara dirinya dan pamannya.
Aku tertarik untuk membaca buku ini karena banyak sekali akun booktwt yang merekomendasikannya. Sayangnya, buku ini masih belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga aku pun membacanya dalam terjemahan Bahasa Inggris. Tapi jangan takut guys. Bahasa Inggris-nya sangat ramah untuk pemula, kok! Bisa nih buat kalian yang mau belajar Bahasa Inggris. Apalagi, novel ini cukup tipis. Tebalnya yang cuma 150 halaman nggak akan membuat kalian merasa intimidasi, dan pastinya, bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Oh ya, novel ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menceritakan tentang kehidupan Takako selama tinggal di Toko Buku Morisaki untuk sementara. Sedangkan, bagian kedua menceritakan tentang istri Satoru yang tiba-tiba kembali setelah tiba-tiba menghilang selama lima tahun.
Aku lebih suka bagian pertamanya daripada bagian keduaya. Menurutku, bagian pertamanya tuh seru banget, tapi bagian keduanya agak hambar. Bukan jelek yah, tapi nggak seseru bagian pertamanya. Tapi tetap bagus kok. Lagian, bagian keduanya juga penting untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab di bagian pertama. Mungkin, kalau ditambahin drama sedikit kayak yang ada di bagian satu, bagian keduanya bakalan seru. Cuma, karena ini dituturkan melalui sudut pandangan orang pertama atau sudut pandang si MC yang nggak suka ikut campur urusan orang lain, jadi yah... gitu. Hahaha.
Aku yakin, kalian yang maniak buku pasti bakal suka banget sama novel ini. Tak hanya menceritakan tentang keseharian orang yang tinggal di toko buku yang terletak di kawasan penuh buku, novel ini juga menceritakan bagaimana buku bisa menjadi sarana untuk menyalurkan perasaan dan menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagai orang yang suka membaca buku, aku iri banget sama Takako. Ia tinggal di tempat yang merupakan surga untuk pecinta buku dan mendapatkan teman yang sama-sama suka membaca buku.
Fun fact, Jimbocho itu benar-benar ada di dunia nyata loh! Jimbocho adalah sebuh distrik di Tokyo yang merupakan surga bagi para pecinta buku. Sama seperti yang diceritakan di dalam novel ini, Jimbocho di dunia nyata adalah tempat yang penuh dengan toko buku. Ada sekitar 130-an toko buku yang berdiri di Jimbocho, yang hampir semuanya merupakan toko buku yang menjual buku-buku bekas dan buku-buku antik. Tak hanya buku-buku berbahasa Jepang, di Jimbocho kalian juga bisa menemukan toko buku yang menjual buku-buku asing.
Selain toko buku antik, Jimbocho juga rumah bagi komunitas literatur seperti Literature Preservation Society dan Tokyo Bookbinding Club, kafe dan restoran yang bernuansa buku, penerbit, serta universitas. Sebuah festival bernama Kanda Used Book Festival juga diadakan setiap tahunnya. Keberadaan tempat unik ini merupakan buah dari kecintaan orang Jepang terhadap buku. Selama membaca Days at Morisaki Bookshop dan artikel mengenai Jimbocho di dunia nyata, aku nggak bisa berhenti untuk merasa iri. Mengapa ya, di tempat tinggalku nggak ada tempat yang asyik kayak gini?
Yah, geliat kehidupan dunia literasi di negara kita memang lesu. Beda banget sama di Jepang sana. Apakah, jika orang Indonesia rajin membaca buku seperti orang Jepang akan ada tempat seperti Jimbocho di Indonesia? Mari kita berandai-andai sembari berharap literasi di negara kita bisa hidup dengan semangat seperti di Jepang.
Aku sangat merekomendasikan kalian untuk membaca novel ini, karena novel ini bagus banget. Ceritanya pasti bakalan relate ke kalian yang suka membaca buku. Melalui novel ini, kalian juga akan mendapatkan sedikit pengetahuan mengenai sastra klasik modern Jepang yang bisa menjadi preferensi bacaan kalian selanjutnya setelah kalian menyelesaikan novel ini.
Komentar
Posting Komentar